WHY?

channa2

WHY?

Author :
Phii

Cast :
Byun Baekhyun as Nam Sungha
Nam jina

Ranting :
T

Genre :
Tragedy

Length :
Oneshot

DON’T BE A SIDERS!

NO PLAGIARISM, NO REPOST WITHOUT MY PERMISSION, NO BASH! THIS IS JUST A FANFICTION!

SORRY FOR TYPO~

I LOVE YOU~

HAPPY READING ^^

Why?

“Mengapa Tuhan tak pernah mendengarkanku? Apa sebegitu burukkah diriku? Hingga semua yang kucintai berjalan menjauh dan lenyap ketika aku merasa yakin aku telah memilikinya, apa benar Tuhan membenciku? Hingga ia membuat waktu tak pernah mau untuk menungguku? Lalu apa sebenarnya arti diriku?”

-Nam Sung Ha-

Malam ini tepat sebagai malam terakhir sebagai penutup bulan, bulan itu menjadi bulan dimana selalu menjadi pengingat akan arti cinta untuk sebagian insan, namun juga bulan dimana hal mengerikan menyapa seorang insan yang rapuh akan perasaannya, ketika malam tiba di saat itulah, lelaki munggil itu mulai gelisah dan khawatir, ia tidak dapat melakukan apapun untuk kekasihnya, yang telah hidup bersamanya beberapa tahun sebelum ini. Tak seperti sepasang kekasih lain, Sungha dan Jina tampak seperti musuh, Jina mengalami ganguan kejiwaan setelah mengetahui dirinya mengidap kanker otak tahun yang lalu, dan begitu seterusnya hingga kejiwaan Jina mulai tidak setabil dan membuat hubungan mereka rengang hingga saat ini.

Entah ini menjadi sebuah kebiasaan yang buruk, tetapi setiap harinya Jina hanya akan mengumpat kepada Sungha tak jelas apa masalahnya, berbalik pada Sungha, ia justru selalu melakukan apapun untuk Jina walau terkadang ia merasa gila untuk menghadapi semua ini.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” Tanya Sungha duduk di pinggir ranjang.

“Tidak ada, hanya menunggu.” Jawab Jina acuh tak acuh.

Mereka larut dalam pikiran masing-masing, namun entahlah, di sisi lain Jina justru mengerutkan dahinya pelan, seolah ia benar-benar menahan rasa sakit yang teramat-amat, bibirnya berkerut dan sangat jelas material cair jatuh menerpa lembut wajah pucatnya, walau itu sangat wajar terjadi padanya sebagai seorang pengidap kanker, tapi kali ini sangat berbeda, ini bukan Jina yang seperti biasanya, sedang berbeda jauh sang kekasih justru tak meyadari akan hal itu, ia lebih memilih untuk berfikir akan bagaimana kehidupannya esok jika Jina tiada, walau ia sadar ia harus mengusir jauh pikiran itu, tapi bukankah ia harus menerima sebuah fakta yang mungkin saja akan menjadi kenyataan? Ini hanya sebuah kemungkinan, yang Sungha tak tahu apa benar akan terjadi. Ia terlalu sadar bahwa Tuhan sudah mengaturnya.

“Apa yang kau tunggu?” Tanya Sungha sedikit menyipitkan matanya.

“Apa lagi, jika bukan kematian ku, itu sedikit menyenangkan.” Jawabnya sembari menyeringai senang.

Mengerikan, mungkin sejenak kata itu menguasai pikiran Sungha, namun ia sudah terlalu muak akan itu, ia bisa menerimanya.

Entahlah sepertinya Tuhan sangat sedih malam ini, hingga angin pun terasa sangat kencang menyapu semua yang dilewatinya, mengugurkan daun-daun dari tempat yang sangat jauh dari atas sana.

“Malaikat itu menjemput seseorang.” Kata Jina parau.

Benar, dan memang benar bahkan Sungha masih hafal akan itu, entah itu sebuah mitos yang sulit diterima ataupun sebuah kenyataan yang harus diterima, namun Jina selalu mengatakan bahwa daun yang gugur menandakan seseorang tengah pergi bersama Malaikat ke langit, namun jika benar begitu, mengapa Malaikat menjemput banyak orang malam ini? Itulah yang sejenak terlintas dalam pikiran Sungha.

“Hentikan omong kosongmu! Minum obatmu lalu tidur! Dimana kau letakkan obatmu?” tanya Sungha panik, mencari botol putih kecil yang berisi butiran anticonvulsant.

“Kakak mencarinya? Aku baru saja membuang keluar jendela 15 menit sebelum Kakak masuk kemari, Kakak bisa melihatnya sendiri!” Jawab Jina sinis menunjuk keluar jendela kamarnya.

“Aku mohon cepatlah sembuh! Tidurlah jangan membuatku semakin gila!”

Sungha mengedarkan pandangannya keluar jendela kamar Jina, dan tepat saat itu ia tak melihat apapun kecuali, benda yang tampak sangat kecil, cukup untuk membuat keyakinan Sungha, bahwa yang ia lihat adalah botol obat Jina yang sudah tergeletak tepat 7 lantai kebawah, dari tempat Sungha menginjak sekarang, emosi Sungha berpacu, ia benar-benar frustasi akan ini, tapi ia hanya bisa meremas bingkai jendela tanpa perduli bahwa itu mampu melukai tangannya, namun ini lebih baik, daripada Sungha meluapkan emosinya pada Jina.

“Aku cukup muak dengan obat itu, mereka tidak bisa turun ke perutku dan hanya berdiam diri terjebak diantara dinding kerongkonganku, itu menyakitkan, tak bisakah kakak memberiku obat tidur saja?” Ucap Jina membulatkan matanya dengan tatapan kosong.

“Apa?”

“Itu akan membuatku tidur, dan tidur untuk waktu yangs sangat lama, aku yakin kakak pasti senang, apa aku salah?”

“Kau semakin tak waras Jina-ah!”

Ada jeda disana, tidak ada yang tahu siapa yang mengehela nafas terakhir di tengah perdebatan itu, namun ketika mata mereka bertemu, hanya ada setitik cahaya kesakitan juga kesedihan yang muncul diantara lautan air mata yang mengepungnya.

Sungha berjalan menjauh dari ujung ranjang Jina, berjalan lurus ke arah pintu, ia benar-benar ingin keluar dari atmosfer kamar Jina yang seolah siap membakar seluruh tubuhnya, ketika gagang pintu ditarik, saat itu Sungha menahan gerakannya, bukan tanpa alasan ia melakukannya, melaikan karena suara Jina yang mengatakan beberapa kata singkat yang mampu mengiris hati sang kekasih.

“Hidupku hanya penuh dengan penyakit mengerikan, yang tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya, jangankan menyembuhkannya, aku tidak tahu bagaimana cara mereka masuk dalam tubuhku, jadi biarkan aku mati kakak!”

“Jangan melakukan apapun! Ingat itu!”

“Tapi aku sudah melakukannya.” ucap Jina memperlihatkan pergelangan tangannya yang sudah berlumuran darah.

“Kau!”

Refleks Sungha berlari menghampiri Jina yang masih berusaha bernafas diantara hidup dan mati, ini sudah terlalu terlambat melihat bagaimana Jina melukai tubuhnya sendiri, mungkin ini juga menjadi penyebab mengapa Jina terlihat begitu kesakitan sedari tadi, setelah menjauhkan ponsel miliknya, dengan lembut Sungha memeluk Jina berusaha membuat Jina terjaga hingga mobil ambulan datang menjemput mereka, Sungha mencoba mengusir semua ketakutan yang mendadak muncul menakutinya.

Antara hidup dan mati.

“Aku menunggu kakak memeluku seperti ini, tapi 3 tahun ini baru kali ini kakak memelukku, aku bahagia kak, ini lah cara ku agar kakak bisa hidup bahagia tanpa ku, yang selalu menjadi beban terberat kakak, berharap bisa mati dengan tenang!” Kata terakhir Jina lalu memejamkan matanya.

“Tidak, Jangan lakukan ini padaku! Aku mohon bangunlah! Hanya kau yang kumiliki, kau tak seharusnya memiliki alasan untuk melakukan ini!” Ucap Sungha panik melihat kekasihnya yang sudah terbujur kaku.

Seberapapun keras Sungha mencoba menyadarkannya, namun semua itu tak akan bisa membuat raga yang sudah terlepas dalam tubuh jina, kembali begitu saja, satu-satunya jalan adalah menerima dengan ikhlas bawa wanita yang dicintainya, telah pergi untuk selama-lamanya, dan meninggalkannya sendiri di dunia yang yang tak pernah mau memihaknya.

“Tidak semua yang terjadi dalam hidup ini hanya berupa kebahagiaan, kasih sayang, ataupun cinta, apa kau lupa? Kesakitan, keputus asaan, dan kebencian, juga selalu ada untuk menjadi penyeimbang dalam hidup ini, tetapi jika kau berfikir untuk menyerahkan hidupmu sepertiku, dan menyalahkan Tuhan atas apa yang kau rasakan, maka dunia akan memandangmu sebagai seorang pecundang sepertiku.”

-Nam Ji Na-

Posted on 7 November 2015, in Beranda, Cerpen and tagged . Bookmark the permalink. 3 Komentar.

  1. Hai ^^ folbacknya done ya, btw sukses buat WPnya ^^

    Disukai oleh 1 orang

  2. hy… aku lagi visit back ini ~~ follbacknya done yah…

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar